PENGELOLAAN KEUANGAN DESA
DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PENDAHULUAN
UU nomor 22 Tahun 1999 dan UU NO 25
Tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor
32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 telah mengubah
hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah. Dua undang-undang ini digunakan sebagai dasar hukum
proses desentralisasi di Indonesia
dengan memberikan peranan yang sangat penting kepada
pemerintah lokal (kabupaten/kota). Sejak
kedua peraturan tersebut diundangkan pemerintah Indonesia
telah berubah secara dratis dari
pemerintah yang tersentralisasi menjadi pemerintah yang
sangat terdesentralisasi. Berkah otonomi
dirasakan mulai dari provinsi, kabupaten/kota sampai ke
desa.
Seiring dengan berlakunya otonomi daerah telah terjadi
reformasi dibidang keuangan negara. Tanggal 5
April 2003 menjadi tonggak sejarah pengelolaan keuangan
negara di Indonesia. Pada tanggal tersebut
pemerintah Indonesia telah mengundangkan sebuah
Undang-Undang fenomenal yaitu Undang-Undang
NO 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang ini
menggantikan Undang-Undang dan
peraturan-peraturan produk kolonial Hindia Belanda yaitu ;
1). Indische Comptabiliteitswet (ICW),
Staatsblad Tahun 1925 NO. 448 sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang NO. 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara . Nomor 2860I ; 2) Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 NO, 419 jo. Stbl. 1936
NO. 445 ; 3) Reglement
voor he Administratief Beheer (RAB)
Stbl. 1933 Nomor 381. Beberapa bulan
kemudian dua paket undang-undang lainnya, yang merupakan
bagian dari 3 paket undang-undang di
bidang keuangan negara yang telah lama disiapkan,
diundangkan oleh pemerintah yaitu Undang-
Undang NO 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Melalui ketiga undang-undang tersebut, paling tidak
pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan
pemerintah selama ini yaitu :
kelemahan di bidang perencanaan dan pengganggaran, kelemahan
di bidang perbendaharaan, dan
kelemahan di bidang pemeriksaan/audit (Andie Megantara, dkk,
LPKPAP-BPPK, Departemen
Keuangan RI, 2006).
Lebih lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri NO. 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri tersebut
bertujuan untuk memudahkan dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, sehingga tidak
menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
Dengan demikian desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan
yang efektif dan efisien. Disamping
itu diharapkan dapat diwujudkan tata kelola pemerintahan
desa yang baik, yang memiliki tiga pilar
utama yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif.
Oleh karenanya, proses dan mekanisme
penyusunan APBDesa yang diatur dalam Permendagri tersebut
akan menjelaskan siapa yang
bertanggungjawab, dan kepada siapa bertanggungjawab, dan
bagaimana cara pertanggungjawabannya.
Untuk itu perlu ditetapkan pedoman umum tata cara pelaporan
dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintah desa, yang dimuat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun
2007.
Untuk memberikan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun
RPJM-Desa dan RKP-Desa perlu
dilakukan pengaturan. Dengan itu maka dikeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri NO. 66 Tahun
2007 tentang Perencanaan Desa. Pengaturan pada aspek
perencanaan diarahkan agar seluruh proses
penyusunan APBDesa semaksimal mungking dapat menunjukkan
latar belakang pengambilan
keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala
prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi
sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut timbul pertanyaan :
Apakah pengelolaan keuangan desa dalam
Permendagri NO. 37 Tahun 2007 telah sejalan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang NO. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang NO 1 Tahun
2004, tentang Perbendaharaan
Negara ; Apakah pedoman umum tata cara pelaporan dan
pertanggungjawaban penyelenggaraan
pemerintah desa dalam Permendagri NO. 35 Tahun 2007 telah
sejalan dengan Undang-Undang NO 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara ; Apakah
Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan
Pembangunan Desa telah
sejalan dengan Undang-Undang NO. 25 Tahun 2005 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Apakah Peraturan Menteri Dalam Negeri NO 13 Tahun
2006 (revisi NO. 59 Tahun 2007)
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, telah sejalan
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
NO. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa;
Apakah pelaporan keuangan desa,
telah sejalan dengan Peraturan Pemerintah NO. 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintah;
Apakah terdapat kesesuaian utuh antara Permendagri NO. 37
Tahun 2007 dengan Permendagri NO. 66
Tahun 2007.
AZAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA
Dalam rangka mendukung terwujudnya tata
kelola yang baik (good governace) dalam penyelenggaraan
desa, pengelolaan keuangan desa dilakukan berdasarkan
prinsip tata kelola yaitu transparan, akuntabel
dan partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin
anggaran. Pengelolaan keuangan desa,
dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai
tanggal 1 januari sampai dengan tanggal 31
Desember (Pasal 2, Permendagri No 37 Tahun 2007).
Transparansi (Transparancy)
Dalam Pasal 4 ayat 7 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia NO. 13 Tahun 2006, tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dikatakan transparan
adalah prinsip keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan
akses informasi seluas-luasnya tentang
keuangan daerah. Dengan adanya transparansi menjamin akses
atau kebebasan bagi setiap orang untuk
memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan,
proses pembuatan dan pelaksanannya, serta hasil-hasil yang
dicapai. Transparansi yakni adanya
kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud
dengan informasi adalah informasi
mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat
dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi
diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat,
toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan
pada preferensi publik ( Bapenas & Depdagri, 2002).
Transparansi menjadi sangat penting bagi pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintah dalam menjalankan
mandat dari rakyat. Mengingat pemerintah memiliki kewenangan
mengambil berbagai keputusan
penting yang berdampak bagi orang banyak, pemerintah harus
menyediakan informasi yang lengkap
mengenai apa yang dikerjakannya. Dengan transparansi,
kebohongan sulit untuk disembunyikan.
Dengan demikian transparansi menjadi instrumen penting yang
dapat menyelamatkan uang rakyat dari
perbuatan korupsi.
Prinsip-prinsip transparansi dapat diukur melalui sejumlah
indikator (Loina Lalolo Krina P, 2003)
seperti berikut : 1) Mekanisme yang menjamin sistem
keterbukaan dan standarisasi dari semua prosesproses
pelayanan publik; 2) Mekanisme yang memfasilitasi
pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun
proses-proses didalam sektor publik ; 3) Mekanisme
yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi
maupun penyimpangan tindakan aparat
publik didalam kegiatan melayani.
Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik,
pada akhirnya akan membuat
pemerintah menjadi bertanggungjawab kepada semua stakeholders yang
berkepentingan dengan proses
maupun kegiatan dalam sektor publik.
Akuntabilitas (accountability)
Akuntabilitas (accountability) adalah kewajiban
untuk memberikan pertanggungjawaban atau
menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang
badan hukum pimpinan suatu organisasi
kepada pihak yang memiliki hak atau berkewanangan untuk
meminta keterangan atau
pertanggungjawaban. Dalam pelaksanaan akuntabilitas
dilingkungan instansi pemerintah, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Harus ada
komitmen dari pimpinan dan seluruh staf
instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar
akuntabel ; 2) Harus merupakan suatu
sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya
secara konsisten dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ; 3 Harus dapat menunjukkan
tingkat pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan ; 4) Harus berorientasi pada
pencapaian visi dan misi serta hasil dan
manfaat yang diperoleh ; 5) Harus jujur, objektif,
transparan dan inovatif sebagai katalisator perubahan
manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran
metode dan teknik pengukuran kinerja dan
penyusunan laporan akuntabilitas (LAN & BPKP, 2000).
Partisipasi
Sedangkan Partisipasi menurut (LAN dan
BPKP, 2000) adalah setiap warganegara mempunyai suara
dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara
serta berpartisipasi secara konstruktif. Dalam Permendagri
NO. 37 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, partisipasi memakai kata-kata partisipatif,
yaitu keikutsertaan dan keterlibatan
masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan
(Permendagri, NO.37 Tahun 2007).
Partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik
menjadi kekuatan pendorong untuk
mempercepat terpenuhinya prinsip akuntabilitas dari
penyelenggara pemerintahan di desa. Dalam
penganggaran partisipasi masyarakat sangat penting untuk
mencegah kebijakan-kebijakan yang
menyimpang. Prinsip dan indikator partisipasi masyarakat
dalam pengganggaran menurut (Gatot
Sulistioni, Hendriadi, 2004) mencakup hal-hal berikut : a)
Adanya akses bagi partisipasi aktif publik
dalam proses perumusan program dan pengambilan keputusan
anggaran ; b) Adanya peraturan yang
memberikan tempat ruang kontrol oleh lembaga independen dan
masyarakat baik secara perorangan
maupun kelembagaan sebagai media check and balances.
3) Adanya sikap proaktif pemerintah daerah
untuk mendorong partisipasi warga pada proses penganggaran.
Hal ini mengingat kesenjangan yang
tajam antara kesadaran masyarakat tentang cara
berpartisipasi yang efektif dan cita-cita mewujudkan
APBD yang aspiratif.
KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN
DESA
Bab III Pasal 3 Permendagri NO. 37
Tahun 2007, disebutkan bahwa kepala Desa sebagai Kepala
Pemerintah Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan desa dan mewakili pemerintah
desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan, dengan
kewenangan : 1) Menetapkan
kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa; 2) Menetapkan
kebijakan tentang pengelolaan barang desa ;
3)Menetapkan bendahara desa, dengan keputusan kepala desa ;
4) Menetapkan petugas yang
melakukan pemungutan penerimaan desa: 5) Menetapkan petugas
yang melakukan pengelolaan barang
milik desa.
Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa,
dibantu oleh pelaksana teknis
pengelolaan keuangan desa (PTPKD), yang terdiri dari :
Sekretaris Desa dan Perangkat Desa.
Sekretaris desa bertindak selaku koordinator pelaksana
pengelolaan keuangan desa dan
bertanggungjawab kepada Kepala Desa. Tugas sekretaris desa
adalah : 1) Menyusun dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan APBDesa ; 2) Menyusan dan melaksanakan
kebijakan Pengelolaan APBDesa ;
3) Menyusun Raperdes APBDesa, perusahan APBDesa dan
pertanggungjawaban pelaksanaan
APBDesa ; 4) Menyusun Rancangan Keputusan Kepala Desa
tentang pelaksanaan peraturan desa
tentang APBDesa dan Perubahan APBDesa.
Jika dibandingkan dengan kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah, terlihat dalam kekuasaan
pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh Kepala Desa,
dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan
keuangan desa (PTPKD), yang terdiri dari sekretaris desa dan
perangkat desa lainnya. Sedangkan
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri NO. 13 Tentang 2006
(revisi NO. 59 Tahun 2007) tentang Pedoman Pengelolaa
Keuangan Daerah, dinyatakan bahwa
kekuasaan pengelola keuangan daerah terdiri dari : 1) Kepala
daerah selaku pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah, 2) Sekretaris Daerah selaku
koordinator Pengelolaan keuangan daerah,
3) Kepala SKPKD selaku pejabat pengelola keuangan daerah, 4)
Kepala SKPD selaku pejabat
pengguna anggaran/pengguna barang, 5) Pejabat pengguna
anggaran/pengguna barang dalam
melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada kepala unit kerja
pada SKPD selaku kuaasa pengguna anggaran/kuasa pengguna
barang.
STRUKTUR ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DESA (APBDesa)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDesa) terdiri dari : Pendapatan Desa, Belanja Desa, dan
Pembiayaan Desa. Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan
uang melalui rekening desa yang
merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak
perlu dibayar kembali oleh desa, yang
terdiri dari : Pendapatan asli desa (PADesa), Bagi hasil
pajak Kabupaten/Kota, Bagian dari retribusi
Kabupaten/Kota, Alokasi Dana Desa (ADD), Bantuan keuangan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa lainnya, Hibah, dan
Sumbangan pihak ketiga.
Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa
yang merupakan kewajiban desa dalam 1
(satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh desa, yang terdiri dari :
a. Belanja Langsung, adalah belanja yang penganggarannya
dipengaruhi secara langsung oleh
adanya program atau kegiatan. Karakteristik biaya langsung
adalah sebagai berikut : (1)
dianggarkan untuk setiap program atau kegiatan yang
diusulkan oleh desa, (2) Jumlah anggaran
belanja langsung suatu program atau kegiatan dapat diukur
atau dibandingkan secara langsung
dengan output program atau kegiatan yang bersangkutan. (3)
Varialibitas jumlah setiap jenis belanja
langsung dipengaruhi oleh target kinerja atau tingkat
pencapaian yang diharapkan dari program
atau kegiatan yang bersangkuran. Kelompok belanja langsung
dibagi menurut jenis belanja yang
terdiri : belanja pegawai, belanja barang dan Jasa, serta belanja
modal.
b. Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang
penganggarannya tidak dipengaruhi secara langsung
oleh adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak
langsung merupakan belanja yang
dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai
konsekuensi dari kewajiban
pemerintah desa secara periodik kepada pegawai yang bersifat
tetap (pembayaran gaji dan
tunjangan) dan/atau kewajiban untuk pengeluaran belanja
lainnya yang umumnya diperlukan secara
periodik. Karakteristik belanja tidak langsung antara lain
sebagai berikut : (1) Dianggarkan setiap
bulan dalam satu tahun (bukan untuk setiap program atau
kegiatan); (2) Jumlah anggaran belanja
tidak langsung sulit diukur atau sulit dibandingkan secara
langsung dengan output program atau
kegiatan tertentu. Kelompok belanja tidak langsung dibagi
menurut jenis belanja terdiri dari : 1)
Belanja pegawai/penghasil tetap ; 2) Belanja subsidi ; 3)
Belanja Hibah (pembatasan hibah); 4)
Belanja bantuan sosial; 5) Belanja bantuan keuangan;
6)Belanja tak terduga.
Sedangkan Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik
penerimaan
maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima
kembali, yang dalam penganggaran
pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan
atau memanfaatkan surplus anggaran.
Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari
pinjaman dan hasil investasi. Sementara
pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk
pembayaran kembali pokok pinjaman,
pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal
oleh pemerintah (Peraturan Pemerintah
NO 24 Tahun 2005, tentang standar akuntansi Pemerintah).
Pembiayaan neto merupakan selisih antara
penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan. Jumlah
pembiayaan neto harus dapat
menutup desifit anggaran.
Penganggaran Desa ( Perencanaan,
Penyusunan, dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDesa)
Dalam ketentuan umum, Peraturan Menteri
Dalam Negeri NO 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan
Pembangunan Desa, dinyatakan bahwa Perencanaan pembangunan
jangka menengah desa (RPJMDesa)
disusun dalam periode 5 (lima) tahun, yang memuat arah
kebijakan pembangunan desa, arah
kebijakan keuangan desa, kebijakan umum, dan program dan
satuan program Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program prioritas
kewilayahan, disertai dengan rencana kerja.
Selanjutnya dalam Bab V Permendagri NO. 37 tahun 2007,
dinyatakan RPJM-Desa merupakan
penjabaran visi dan misi dari kepala desa yang terpilih.
RPJM Desa ditetapkan paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah kepala Desa dilantik. Kepala Desa bersama
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
menyusun RKPDesa yang merupakan penjabaran dari RPJMDesa
berdasarkan hasil musyawarah
rencana pembangunan desa. Penyusunan RKPDesa diselesaikan
paling lambat akhir bulan Januari
tahun anggaran sebelumnya. RPJM-Desa ditetapkan dengan
peraturan desa, sedangkan RKPDesa
ditetapkan dengan peraturan kepala desa.
Dalam penetapan rancangan APBDesa Pasal 5 dan 6, Permendagri
NO. 37 Tahun 2007 tidak
dinyatakan bahwa penyusunan dan penetapan rancangan APBDesa
disusun berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai. Sementara itu dalam Undang-Undang NO. 17
Tahun 2003 Pasal 14 dan Pasal 19
ayat 1 dan 2, dinyatakan bahwa dalam rangka penyusunan
rancangan APBN/APBD, disusun
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Berarti dalam
penyusunan dan penetapan APBDesa
belum disusun berdasarkan anggaran berbasis kinerja.
Pelaksana otonomi desa menyebabkan perlunya reformasi dalam
manajemen keuangan desa. Salah satu
reformasi yang penting adalah dalam bidang penganggaran (budgeting reform).
Reformasi anggaran
meliputi proses penyusunan, penetapan dan pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran. Aspek
utama reformasi anggaran adalah perubahan anggaran dengan
pendekatan tradisional (tradisional
budget) ke
anggaran dengan pendekatan kinerja (performance
budget).
Anggaran tradisional didominasi oleh penyusunan anggaran
yang bersifat line item dan
incrementalism, yaitu
proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi
anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada
perubahan yang mendasar atas anggaran baru.
Hal ini sering bertentangan dengan kebutuhan riil dan
kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti
ini, APBDesa masih terlalu berat menahan, arahan, batasan,
serta orientasi subordinasi kepentingan
pemerintah atasan.
Sedangkan anggaran kinerja pada dasarnya adalah sistem
penyusunan dan pengelolaan anggaran desa
yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.
Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus
berorientasi pada kepentingan publik (Mardiasmo,
2002).
Proses penyusunan dan pelaksanaan APBDesa harus difokuskan
pada upaya untuk mendukung
pelaksanaan program dan kegiatan yang menjadi perioritas
desa yang bersangkutan dan dengan
memperhatikan asas umum APBDesa. Menurut Pasal 8 Permendagri
NO. 37 Tahun 2007, Pelaksanaan
APBDesa yang berhubungan dengan pendapatan desa dengan
memperhatikan :
a. Semua pendapatan desa dilaksanakan melalui rekening kas
desa
b. Khusus bagi desa yang belum memiliki pelayanan perbankan
di wilayahnya maka
pengaturannya diserahkan kepada daerah.
c. Program dan kegiatan yang masuk desa merupakan sumber
penerimaan dan pendapatan desa
wajib dicatat dalam APBDesa.
d. Setiap pendapatan desa harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah.
e. Kepala desa wajib mengintensifkan pemungutan pendapatan
desa yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya.
f. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan selain yang
ditetapkan dalam pengaturan desa.
g. Pengembalian atas kelebihan pendapatan desa dilakukan
dengan membebankan pada
pendapatan desa yang bersangkutan untuk pengembalian
pendapatan desa yang terjadi dalam tahun
yang sama.
h. Untuk pengembalian pendapatan desa yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya dibebankan
pada belanja tidak terduga.
i. Pengembalian diatas, harus didukung dengan bukti yang
lengkap dan sah.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Permendagri NO. 37 Tahun 2007,
dinyatakan bahwa pelaksanaan
pengeluaran APBDesa dengan memperhatikan : a) Setiap
pengeluaran belanja atas beban APBDesa
harus didukung dengan bukti yang sah dan lengkap ; b) Bukti
harus mendapat pengesahan oleh
Sekretaris Desa atas kebenaran material yang timbul dari
penggunaan bukti dimaksud ; c) Pengeluaran
kas desa yang mengakibatkan beban APBDesa tidak dapat
dilakukan sebelum rancangan peraturan desa
tentang APBDesa ditetapkan menjadi peraturan desa ; d)
Pengeluaran kas desa sebagaimana yang
dimaksud pada point c tidak termasuk untuk belanja desa yang
bersifat mengikat dan belanja desa yang
bersifat wajib yang ditetapkan dalam peraturan kepala desa ;
e) Bendahara desa sebagai wajib pungut
PPH dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan
potongan dan pajak yang dipungutnya
ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDesa)
Perubahan APBDesa dapat dilakukan
apabila terjadi : a) Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran antar jenis belanja ; b) Keadaan yang menyebabkan
sisa lebih perhitungan anggaran
(SILPA) tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun
berjalan; c) Keadaan darurat; dan Keadaan
luar biasa.
Dalam keadaan darurat, pemerintah desa dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBDesa. Keadaan darurat
sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memenuhi kriteria
sebagai berikut : a) Bukan merupakan
kegiatan normal dari aktivitas pemerintah desa dan tidak
dapat diprediksi sebelumnya ; b) Tidak
diharapkan terjadi secara berulang ; c) Berada diluar
kendali dan pengaruh pemerintah desa; d)
Memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam
rangka pemulihan yang disebabkan oleh
keadaan darurat (Budi Mulyana, dkk, LPKPAP, 2006).
PENATAUSAHAAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DESA
Dalam Bab VII, Pasal 12 Permendagri NO.
37 Tahun 2007, dinyatakan bahwa : (1) kepala desa dalam
melaksanakan penatausahaan keuangan desa harus menetapkan
bendahara desa; (2) penetapan bendara
desa sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas, harus dilakukan
sebelum dimulainya tahun anggaran
bersangkutan dan berdasarkan keputusan kepala desa.
Penatausahaan penerimaan wajib dilaksanakan oleh bendahara
desa, dengan menggunakan : Buku Kas
Umum, Buku Kas Pembantu perincian objek penerimaan dan Buku
Kas harian pembantu. Bendahara
desa wajib mempertanggungjawabkan penerimaan uang yang
menjadi tanggungjawabnya melalui
laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada kepala desa
paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Laporan pertanggungjawaban penerimaan dilampiri
dengan : (1) buku kas umum; (2) buku
kas pembantu perincian obyek penerima; (3) bukti penerimaan
lainnya yang sah.
Penatausahaan Pengeluaran, wajib dilakukan oleh bendahara
desa. Dokumen penatausahaan
pengeluaran harus disesuaikan dengan peraturan desa tentang
APBDesa atau Peraturan desa tentang
perubahan APBDesa melalui pengajuan surat permintaan
pembayaran (SPP). Pengajuan SPP harus
diketahui oleh kepala desa melalui pelaksana teknis
pengelolaan keuangan desa (PTPKD). Bendahara
desa wajib mempertanggungjawabkan penggunaan uang yang
menjadi tanggungjawabnya melalui
laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada kepala desa
paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Dokumen yang digunakan bendahara desa dalam
melaksanakan penatausahaan pengeluaran
meliputi : (a) buku kas umum; (b) buku kas pembantu
perincian obyek pengeluaran; (c) buku kas
harian pembantu. Sedangkan laporan pertanggungjawaban
pengeluaran harus dilampirkan dengan : (a)
buku kas umum; (2) buku kas pembantu perincian obyek
pengeluaran yang disertai dengan bukti-bukti
pengeluaran yang sah; (c) bukti atas penyetoran PPN/PPH ke
kas negara.
Penatausahaan keuangan desa diatas ditetapkan satu
bendahara, dalam Pasal 12 ayat 1, Permendagri
NO. 37 tahun 2007, tidak disebutkan bendahara penerimaan dan
pengeluaran, sementara dalam pasal
184 ayat 1 Permendagri NO. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
pengelolaan keuangan daerah,
ditetapkan ada bendahara penerimaan dan bendahara
pengeluaran. Dengan hanya satu bendahara dalam
penatausahaan keuangan desa, maka tidak terdapat pemisahaan
tugas antara bendahara penerimaan dan
pengeluaran.
Sedangkan dalam Pasal 58 UU NO. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dinyatakan dalam
rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara, Presiden
selaku kepala pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan
sistem pengendalian intern di lingkungan
pemerintah secara menyeluruh. Dan lebih lanjut dalam Pasal 2
ayat 1, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia NO. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Internal Pemerintah, dinyatakan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan bupati/walikota wajib
melakukan pengendalian atas
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Dalam aktivitas pengendalian (control activities)
terdapat lima prosedur utama yang harus ada yaitu :
pemisahan tugas, sistem otorisasi, pengecekan independen,
pengamanan fisik, dan dokumentasi dan
pencatatan. Prinsip dasar pemisahan tugas (segregation of duties) adalah seseorang tidak
diperbolehkan melakukan satu rangkaian transaksi dari awal
sampai akhir. Rangkaian tugas itu harus
dipecah dan dilaksanakan oleh petugas yang berbeda. Dengan
pemisahan tugas akan tercipta sistem
internal check dalam organisasi. Bila rangkaian tugas
dirangkap, kemungkinan terjadinya kecurangan
(fraud) sangat besar.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan
APBDesa
Dalam pasal 16 ayat 1 s/d 4 Permendagri
No 37 tahun 2007, mengatur mengenai penetapan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa. Sekretaris Desa
menyusun rancangan peraturan desa
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa dan Rancangan
Keputusan kepala desa tentang
pertanggungjawaban kepala desa, kepada kepala desa untuk
dibahas bersama Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Berdasarkan persetujuan kepala desa dan BPD maka
rancangan peraturan desa tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa dapat ditetapkan
menjadi peraturan desa. Jangka waktu
penyampaian, dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah
tahun anggaran berakhir. Selanjutanya
dalam pasal 17 Permendagri NO. 37 Tahun 2007 dinyatakan
bahwa peraturan desa tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa dan keputusan kepala
desa tentang pertanggungjawaban
kepala desa sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (3)
diatas, disampaikan kepada
Bupati/Walikota melalui Camat. Waktu penyampaian paling
lambat 7 hari setelah peraturan desa
ditetapkan. Laporan pertanggungjawaban keuangan desa terdiri
dari laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran. Dalam bentuk buku kas umum
penerimaan dan pengeluaran, buku kas
pembantu untuk penerimaan dan pengeluaran, dan buku
penerimaan lainnya yang sah, serta untuk
pengeluaran menyetorkan bukti PPN/PPh ke kas negara.
Sementara itu pada Pasal 30 dan 31 ayat 1,2, UU NO 17 Tahun
2003, dinyatakan
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan
undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD
berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan keuangan dimaksud terdiri dari ; laporan realisasi
APBN/APBD, Neraca, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara/daerah dan
badan lainnya.
Peran laporan keuaangan adalah untuk menyediakan informasi
yang relevan mengenai posisi keuangan
dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh entitas pelaporan
dalam satu periode pelaporan. Laporan
keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi
pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai
kondisi keuangan, mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan
membantu menentukan ketaatannya terhadap
peraturan perundang-undangan (Peraturan Pemerintah NO. 24
Tahun 2005, tentang Standar Akuntansi
Pemerintah).
Pengelolaan Alokasi Dana Desa
Dalam PP 72 Tahun 2005, dinyatakan
alokasi dana desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh
pemerintah kabupaten/kota untuk des, yang bersumber dari
bagian dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. Menurut Pasal
19 Permendagri NO. 37 Tahun 2007,
besarnya paling sedikit 10 % . Tujuan Alokasi Dana Desa
adalah :
A. Menanggulangi kemiskinan dan
mengurangi kesenjangan.
B. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran
pembangunan di tingkat
desa dan pemberdayaan masyarakat.
C.
Meningkatkan pembangunan infrastuktur perdesaan.
D, Meningkatkan
pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan
peningkatan sosial
E. Meningkatkan ketentraman dan ketertiban
masyarakat
F. Meningkatkan
pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan
kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat
G. Mendorong
peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat
H. Meningkatkanpendapatan
desa dan masyarakat desa melalui badan usaha milik desa (BUMDesa).
Pengelolaan alokasi dana desa merupakan
satu kesatuan dengan pengelolaan keuangan desa. Rumus
yang digunakan dalam alokasi dana desa adalah
A.
Azas merata adalah besarnya bagian alokasi dana
desa yang sama untuk tiap desa, yang selanjutnya disebut
alokasi dana desa minimal (ADDM)
B. Azas adil
adalah besarnya bagian alokasi dana desa berdasarkan nilai bobot desa (BDx)
yang dihitung
dengan rumus dan variabel tertentu, (misalnya kemiskinan,
keterjangkauan, pendidikan dasar,
kesehatan dll), selanjutnya disebut alokasi dana desa
proposional (ADDP).
Besarnya persentase perbandingan antara
azas merata dan adil adalah besarnya ADDM adalah 60 %
dari jumlah ADD dan ADDP adalah 40 % dari jumlah ADD.
Alokasi dana desa dalam APBD kabupaten/kota dianggarkan pada bagian
pemerintahan desa. Pemerintahan desa membuka rekening pada bank
yang ditunjuk berdasarkan keputusan kepala desa. Kepala desa mengajukan
permohonan penyaluran alokasi dana desa kepada Bupati c.q kepala bagian
pemerintah desa sekda kabupaten melalui camat setelah dilakukan
verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintah desa
pada sekda kabupaten akan
meneruskan berkas permohonan berikut lampirannya kepada kepala bagian keuangan
setda kabupaten atau kepala badan pengelolaan keuangan daerah (BPKD) atau
kepala badan pengelola keuangan dan kekayaan/Aset daerah (BPKK/AD).
Kepala bagian keuangan Setda atau Kepala BPKD atau
Kepala BPKK/AD akan menyalurkan ADD langsung dari kas daerah ke rekening desa.
Mekanisme pencairan ADD dalam APBDesa
dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya bersumber
dari ADD APBDesa sepenuhnya dilaksanakan oleh tim pelaksana desa
dengan mengacu pada peraturan Bupati/Walikota. Penggunaan ADD
adalah sebesar 30 % untuk belanja aparatur dan operasional pemerintah desa,
sebesar 70 % untuk biaya pemberdayaan masyarakat. Bagi belanja pemberdayaan
masyarakat digunakan untuk : Biaya
perbaikan sarana publik dalam skala kecil, penyertaan modal
usaha masyarakat melalui BUMDesa,
biaya untuk pengadaan ketahanan pangan, perbaikan lingkungan
dan pemukiman, teknologi tepat guna,
perbaikan kesehatan dan pendidikan, pengembangan sosial
budaya, dan sebagainya yang dianggap
penting.
Pembinaan dan Pengawasan
Dalam pasal 99 PP 72/2005, dinyatakan
pemerintah dan pemerintah provinsi wajib membina
penyelenggaran pemerintah desa dan lembaga kemasyarakatan.
Pemerintah kabupaten/kota dan camat
wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa
dan lembaga kemasyarakatan.
Pembinaan dan pengawasan pemerintah kabupaten/kota meliputi
A.
Memberi pedoman bimbingan pelaksanaan
ADD.
B.
Memberikan bimbingan dan pelatihan dan
penyelenggaraan keuangan desa yang mencakup perencanaan
dan penyusunan APBDesa, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBDesa.
C.
Membina dan mengawasi pengelolaan
keuangan desa dan pendayagunaan aset desa.
D.
Memberikan pedoman
dan bimbingan pelaksanaan administrasi keuangan desa.
Sedangkan pembinaan dan pengawasan Camat meliputi:
- Memfasilitasi
administrasi keuangan desa.
- Memfasilitasi
pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan aset desa
- Memfasilitasi pelaksanaan
ADD.
- Memfasilitasi
penyelenggaraan keuangan desa yang mencakup perencanaan, dan
penyusunan APBDesa, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
APBDesa.
KESIMPULAN
Dari latar belakang dan tinjauan
teoritis diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam era reformasi terjadi
perubahan pola pertanggungjawaban dari akuntabilitas vertikal, menjadi
akuntabilitas horizontal. Penganggaran berubah dari sistem tradisional
yang menggunakan pendekatan inkremental dan line item ke sistem
anggaran kinerja.
2.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan desa
meliputi kekayaan desa yang dikelola langsung oleh pemerintah desa,
yaitu APBDesa. Dalam pengelolaan keuangan desa tersebut
perlu diperhatikan dan ditaati asas umum pengelolaan keuangan desa yaitu, keuangan
desa harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
transparan, akuntabel, dan partisipatif dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat desa.
3.
Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan
dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam
APBDesa yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan desa.
4.
Serta Permendagri No. 37
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, dan Permendagri NO. 35 Tahun 2007
tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintah
Desa, Permendagri NO. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Keuangan Desa, belum seluruhnya
sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang NO. 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara,
Undang-Undang NO. 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara, dan
Undang-Undang NO. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta Undang- Undang NO. 25
Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
SARAN
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan
teoritis diatas disarankan
1.
Dalam penyusunan dan
penetapan APBDesa disusun berdasarkan pendekatan prestasi
kerja yang akan dicapai.
2.
Dalam
pelaksanaan APBDesa harus dilakukan secara transparan,
supaya adanya partisipasi dari masyarakat,
dan akhirnya akan menuntut pertanggungjawaban pejabat
pengelola keuangan desa ; 3) Dalam
penatausahaan keuangan desa, harus ada pemisahan fungsi
bendahara penerimaan dan pengeluaran,
supaya tidak terjadi kecurangan ; 4) Pertanggungjawaban
pelaksanaan APBDesa kepada
Bupati/Walikota berupa laporan keuangan, yang terdiri dari
laporan realisasi anggaran, neraca, laporan
arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Andie Megantara, Dodi Iskandar, Kuwat
Slamet, 2006, Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan
Aplikasi Di Indonesia, Lembaga Pengkajian keuangan Publik
dan Akuntansi Pemerintah
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan
RI, Jakarta.
Budi Mulyana, Subkhan, Kuwat Slamet, 2006, Keuangan Daerah
Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan
Pengelolaan APBD di Indonesia, Lembaga Pengkajian Keuangan
Publik Dan Akuntansi
Pemerintahan (LPKPAP) Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan, Jakarta
LAN dan BPKP, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul 1
dari 5 Modul Sosialisasi Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Penerbit LAN,
Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah,
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Permendagri Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara
Pelaporan Dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintah
Desa.
Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa.
Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanan
Pembangunan Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang –undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara
UU Nomor
1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
UU Nomor
15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara.
UU Nomor
25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
UU Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor
33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
0 komentar:
Posting Komentar